Sunday, December 9, 2012

Memori Lama


Rasanya aku bisa sinting! Buru-buru kubereskan ruangan kerjaku. Hari ini sungguh malang nasibku. Tadi pagi terlambat berat masuk kerja dan semua pekerjaan yang kulakukan rasanya nyaris tidak ada yang sepenuhnya terselesaikan dengan sempurna, ngaco semua. Mana kepala pusing!
"Sorry, saya nggak bisa nerusin kerjaan hari ini. Headache banget!"

Lindsey, manajer kami, mengernyit antara kesal dan heran. Biasanya aku nggak pernah bikin ulah, jadi terpaksa kali ini dia menelan kekurang ajaranku.

"Pulang?"
"Iya. Sorry banget, saya perlu istirahat."

Namaku Mel. Usiaku 28 tahun, asli Indonesia sekarang bekerja dan menetap di Inggris. Saat ini aku nggak terlalu berminat dengan 'hubungan', baik itu hubungan sayang-sayangan atau hubungan intim. Garing. Pulang kerja capek, mendingan istirahat atau olahraga. Laki-laki cuma bikin pusing! Perempuan lebih-lebih lagi!

Dua tahun lalu sahabat priaku sejak usia belasan, Duncan, menikah dengan wanita Indonesia. Istrinya nggak terlalu 'keen' denganku walau kami sama-sama asal Indonesia dan walau aku berusaha menjalin persahabatan juga dengannya. Ntah lah, mungkin insting wanita sebagai istri. Memang sih, dari dulu Duncan ada hati padaku, hanya aku pura-pura bego. Mereka tinggal di Pondok Mertua Indah. Justru setelah mereka menikah, kami sempat kelepasan berhubungan intim di kamar mereka sewaktu istrinya sedang belanja dengan keluarga mertua. Sampai saat ini aku tak pernah yakin dengan perasaanku yang sesungguhnya terhadap Duncan. Tapi sejak itu aku berusaha tahu diri, menjauh dari Duncan. Aku berusaha menghargai pilihan dan posisinya sebagai seorang Ayah setelah istrinya melahirkan. Mungkin sudah hampir dua tahun. Entah kenapa, hari ini tanpa kukehendaki pikiranku seolah melayang teringat terus pada Duncan. Sampai badanku terasa panas dingin.

"Duncan.." Namanya terlontar dari mulutku.

Berharap mandi di siang bolong akan membuat hatiku rada enakan. Air hangat membasahi tubuhku. Kutengadahkan wajah menjelang guyuran air shower. Kuraba kulitku yang coklat matang meratakan busa shower gel ke leher dan bahuku. Wajahku biasa saja, tapi Duncan selalu suka dengan kulitku yang sawo matang dan tubuhku yang kencang. Perlahan kuelus sendiri dadaku. Kupijati dan kuremasi payudaraku bergantian. Kedua puting payudaraku menegak dan mengeras.

"Ahh," kudengar diriku merintih menikmati rangsanganku sendiri.

Pikiranku melayang membayangkan pertama dan terakhir kali berhubungan intim dengan Duncan. Kuremas payudaraku bersamaan, membayangkan tangan Duncan meremasiku dan kulumannya bibir dan lidahnya waktu itu. Gigitannya di kedua putingku, rabaannya, tangannya mencengkram perut dan pinggulku. Mm..

Sialan! Kalau lagi ingin dengan seseorang, aku justru nggak bisa masturbasi. I gotta have him! Kubalut tubuhku dengan handuk, kuraih telpon di sebelah tempat tidurku.

"Duncan?"
"Hey! How are you?" Suaranya terdengar sangat kaget.
"Not good."

Hanya berbalut handuk, setengah basah di tempat tidur, sebelah tanganku bergerilya merabai selangkanganku. Kemaluanku basah, sedikit licin, jelas bukan air. Jari-jariku nakal menyelip menggesek masuk menjepit klitorisku. Refleks pahaku menyilang menjepit kenikmatan yang mulai membasahiku.

"Ada apa?" Suaranya kali ini terdengar bingung.
"Apa maksudmu ada apa?"
"Well, kenapa kamu mendadak menelpon dan ada apa dengan kamu. Kok suaramu kedengarannya lain?"
"Duncan.."

Jari-jemariku tak terkontrol lagi bergerak cepat menggosoki kemaluanku sendiri. Suaraku pasti mulai jelas terdengar horny. Tak kuhiraukan pertanyaannya.

"Mel, are you alright?" Walau bernada bingung, dari suaranya aku yakin Duncan bisa meraba apa yang sedang aku rasakan atau mungkin malah menebak apa yang sedang kulakukan.

Wajahku terasa hangat, panas, malu, tapi jemariku tak mau berhenti, selangkanganku berdenyut-denyut menuntut. Kedua pahaku mulai membuka, mengangkang lebar dengan lutut menekuk. Hanya dari luar, jari telunjuk dan jari tengahku menggesek klitorisku tanpa mengusik liang vaginaku.

Aku tak tahu lagi apa yang kukatakan pada Duncan lewat telpon. Tubuhku meregang menggelihat-gelihat lapar dan dari antara bibir yang kugigit menahan ribut suaraku tetap saja kudengar erangan dan rintihanku. Mataku memejam membayangkan tangan-tangan Duncan kokoh meremas tubuhku, menahan pinggulku agar panggulku selevel dengannya dan penisnya yang keras melesak memasuki vaginaku dari belakang.

Memori demi memori melintas di benakku. Hentakannya, penisnya menggesek vaginaku dari luar ke dalam dan keluar dengan ritmis. Kedua jariku bergerak semakin cepat seolah mereka punya pikiran sendiri.

"Mel, stop it, you're torturing me. Jangan terusin.." kudengar suara Duncan di ujung telpon.
"Ohh.. Mel."

Suara Duncan mengerang membuatku semakin horny dan.. Kugigit bibirku kali ini kuat-kuat sampai terasa perih! Gerakan jemariku memendek tapi menekan kuat dan kasar memaksa kedua pahaku menggelepar terkangkang. Kenikmatan berbaris menyergap selangkanganku, dari situ dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhku. Kedua pahaku kembali merapat, kejang menjepit menahan tanganku di selangkangan. Seluruh tubuh sampai wajahku terasa panas dingin. Nafasku memburu setelah kenikmatan yang mendadak datang membanjir perlahan mulai mereda.

Lelah dan setengah mengantuk, kesadaranku perlahan merangkak datang kembali. Meringkuk di tempat tidur dengan sebelah tangan masih memegang telpon, kubiarkan Duncan mendengar nafasku yang masih tersengal-sengal. Aku rindu sekali tapi tak tahu harus berbuat apa atau bilang apa. Wajahku terasa hangat campuran malu dan nafsu.

"Mel," sekarang justru suaranya yang terdengar malu.

Aku hanya bisa diam menunggu vonis dan hinaan. Hampir dua tahun kutinggalkan dia dan istrinya dalam damai, kini rasanya hilang semua wibawa dan harga diriku di hadapannya.

"Ini persis dua tahun sejak terakhir you're in my arms. I realy miss you. Malam ini aku boleh datang ya, Mel?"

Seluruh panas dan hangat yang tadi melanda tubuhku mendadak lenyap. Dingin kembali menyelinap di rongga paru-paruku. Ternyata sudah dua tahun. Aku masih belum juga bisa melupakan dia. Telpon dimatikan dari ujung sana. Aku hanya diam. Dia tidak menunggu jawabanku. Kuletakkan gagang telpon kembali ke tempatnya dan kupejamkan mataku.

Jam 18.30. Hari masih terang. Spring's here. Malam ini mungkin dia akan datang. Aku masih dalam kimonoku termangu ragu dan tak percaya dengan apa yang kulakukan siang tadi. Phone sex? Sialan! Apa sekarang dia pikir aku sudah jadi anggota wanita single yang kesepian dan desperate? Apa aku cinta dia? Apa dia masih cinta padaku? Kenapa selama ini dia tidak pernah muncul? OK. Aku menghilang, tapi kenapa dia tidak pernah mengejarku? Ah. Dia pasti sudah bahagia tanpa aku. Sialan!

Suara mobil masuk ke drive way-ku. Kuintip tamuku dari lubang intip pintu.

"Hello."

Dua tahun. Sekarang dia kembali di depanku.

"Kulkasku kosong." Jawabku asal-asalan menutupi kekakuan.

Tanpa diundang dia masuk mendahuluiku, naik ke lantai dua. Kamarku, TV, dvd, komputer, semua di atas.

"Ada disk baru?" Dengan gaya kekanakan Duncan naik ke ranjangku, menyensor koleksi dvd dan kaset-kaset yang berhamburan di lantai kamar.

Wajahnya terlihat lelah. Aku rindu sekali. Kuhampiri ia, duduk di sebelahnya. Rambutnya yang pirang, matanya terlihat biru agak tua. Hidungnya masih kegedean dan bibirnya tipis membuatku penasaran. Aku selalu tertarik dengan bibir tipis. Dua tahun ternyata belum lama, wajahnya belum berubah.

"Sorry, tempat tidurku rada lembab.." entah kenapa suaraku terdengar pelan berbisik.
"Nggak apa-apa." Matanya menatapku lekat.

Kupejamkan mataku, kurasakan wajahnya mendekat. Nafasnya terasa hangat di wajahku. Kubuka bibirku menyambut bibirnya, lidahnya.. Kudengar eranganku waktu tangannya membelai leherku. Kutarik tali kimonoku dan kuraih wajahnya turun ke leherku. Aku selalu cepat terangsang kalau leherku diserang. Dengan mata terpejam kuremas-remas rambutnya sambil menikmati lidahnya hangat dan lekat menjilati leherku. Tangannya menyelinap merabai tubuhku di balik kain kimono satin yang masih menggantung longgar di badanku.

Duncan mendorongku perlahan berbaring. Aku tidak mengenakan apa-apa di balik kimonoku sejak 'tadi siang'. Vaginaku terasa lembab dan sensitif. Entah untuk apa dengan kedua tangan kututupi payudaraku, mata kami tak lepas dari satu sama lain, sambil menatapku Duncan melepasi semua pakaiannya. Astaga! Itu badan masih tetap seperti dulu. Kulitnya kecoklatan 'tanned' untuk ukuran kulit putih, badannya tegap berotot walau jelas jauh dari Ade Rai. Cahaya terang dari luar jendela kamarku menimpa kulitnya membuat rambut-rambut halus rada pirang di dadanya terlihat jelas.

"Let me.." katanya pelan.

Belum lagi aku ngeh, ditariknya tubuhku dari pinggang bergeser ke bawah hingga belakang lututku bertumpu pada pinggir tempat tidur lalu kedua pahaku dikangkangkannya dengan tangan. Duncan berlutut di lantai, menatapku sambil jarinya meraba selangkanganku. Lalu masih dengan jari sebelah tangan merangsang klitorisku, dia merundukkan wajahnya ke selangkanganku.

"Adduh!Ough.."

Panggulku sampai naik-turun belingsatan menerima kulumannya di bibir luar kemaluanku. Ibu jarinya turun ke luar liang vaginaku, menggesek dan menekan membuatku licin. Kugigit bibirku menahan eranganku terlalu kuat.

"Mm-ahh! Duncan! Ouggh, ya. Don't stop.."

Kupejamkan mataku menikmati ketegangan yang semakin memuncak di antara kedua paha. Kutarik kedua pahaku hingga kini aku mengangkang di pinggir tempat tidur menunggu penisnya memasukiku. Tapi kurasakan kedua pahaku didorongnya lebih lebar lagi dan bibir luar kemaluanku ditariknya lebar-lebar dan rasa hangat, basah dan kesat menggaruk klitorisku membuatku membuka mata merunduk menatap ke arahnya.

"Mm-ahh.. Oohh.. Hya.."

Kudengar diriku sendiri mengerang-erang tak tertahankan. Duncan benar-benar mengulumku luar dalam. Vaginaku dijilati dan klitorisku dimainkannya dengan lidah, dikulum dan ditarik!

"Mmh! Ough! Duncan.. Shh-ah.. Don't stop!"

Tubuhku bergetar tak tertahan. Kurasakan kedua tangan Duncan kuat menahan pinggang dan perutku di ranjang. Wajahnya memaku selangkanganku, bibir dan lidahnya memagut klitorisku! Arus hangat merambati sekujur tubuhku. Kuulurkan tanganku menjambak rambutnya.

"Stop it! Ough.. Ahh.. Duncan!"

Kugigit bibirku dan..

"Ough!" Tubuhku mengejang-ngejang sesaat bergetar menahan kenikmatan yang kurasakan. Kemaluanku serasa megap-megap dan cairan kental hangat membasahi vaginaku. Entah itu ludahnya atau cairan kemaluanku. Kudengar suaraku menjerit tertahan..

"Ough!" Kupejamkan mataku menikmati arus kepuasan yang mengaliri seluruh tubuhku panas dingin. Kudengar nafasku terengah-engah.

Tangan Duncan merabai bagian dalam pahaku yang masih sensitif. Perlahan ditariknya kedua pahaku turun. Kugeser tubuhku hingga kini berbaring penuh di ranjang. Duncan naik ke ranjang, dibenahinya kimonoku dan diikatkannya tali kimonoku hingga kebugilanku agak tertutup.

Masih dengan nafas tersengal kulihat penisnya tegak bediri menuding ke arahku. Ereksinya sepertinya keras sekali. Dengan sebelah tangan Duncan merabai penisnya. Pinggiran kepala penisnya terlihat tebal menggiurkan. Tanpa senyum Duncan menatapku sambil terus memainkan kebanggaannya. Sambil menguruti penisnya, kepalanya agak mendongak dan bibirnya agak membuka sambil terus menatapku.

Setelah nafasku agak reda, aku bergerak merangkak dengan posisi kedua lutut dan tangan di ranjang kudekati penisnya. Sedikit cairan kental being terlihat di celah penisnya yang membuka. Duncan menatapku dengan wajah kemerahan tanpa berkata apa-apa. Kupejamkan mataku, kutengadahkan wajahku hingga penisnya yang keras itu meraba wajahku. Kumainkan penisnya yang keras tapi terasa halus itu di wajahku.

"Mel!" Suara Duncan lirih mengerang.

Kubuka mataku melihat matanya terpejam. Kuraih penisnya dengan sebelah tangan dan kujilati bagian bawahnya.

"Oh! Mel!"

Mata Duncan mendadak terbuka melihat ke arahku. Di bawahnya kugenggam penisnya dengan kedua tanganku sambil mengemut kepala penisnya. Dalam mulutku kugelitiki bagian bawah kepala penisnya dengan lidahku. Rasanya bagiku pun nikmat sekali me'makan' kepala penisnya. Kedua tangan Duncan bergerak meremasi rambutku, lalu menuntun kepalaku bergerak lebih ke depan lagi.

Dengan sebelah tangan kuraba perutnya, dengan tangan satu lagi kutumpu penisnya sambil kuhisap keluar masuk mulutku. Ahh, nikmat sekali. Bagiku bukan hanya memberinya 'service' tapi memang ku suka sekali aroma dan 'rasa' penisnya, selalu membuatku tambah horny. Kudengar diriku sendiri melahap rakus penisnya.

"Mel! Oh yess.. Mm.. Faster.."

Duncan mengerang-erang membimbing kepalaku bergerak lebih cepat lagi. Sendi rahangku terasa agak pegal, tapi kupercepat gerakanku dan kuperketat bibirku yang mungil dibanding diameter penisnya.

"Ahh! Ahh.. Mel.."

Suara Duncan terdengar agak serak dan jauh dari lembut. Perutnya terasa menegang. Rambutku terasa dijambak lebih kuat. Nafsuku jadi timbul lagi. Selangkanganku terasa panas dan melembab lagi.

"Move!"

Lamunanku terpecah. Tiba-tiba Duncan mendorongku menjauh darinya. Penisnya keluar dari mulutku. Belum sempat aku berpikir, tangan Duncan mendorongku berbalik membelakanginya. Mengikuti gerakan tangannya aku turun dari tempat tidur tergesa-gesa. Didesaknya tubuhku menghadap jendela kamar. Dengan insting dan dorongan tangannya kutumpukan tanganku di pinggiran beton jendela kamarku.

"Ooh.. Oh, Mel!"

Pahaku dibukanya dengan satu tangan, bersamaan ditariknya hingga bokongku menungging. Kurasakan wajahnya mendekati wajahku dari belakang, nafasnya memburu menciumi wajah dan leherku dari samping. Kurasakan keras penisnya menempel di sela bongkahan bokongku, menekan-nekan.

"Duncan.."

Kulihat di bawah di luar kaca jendelaku, Shaz tetanggaku sedang berkebun di pekarangan belakang rumahnya. Untung dia membelakangi kami. Aku yakin Duncan pun bisa melihatnya.

Kucoba berbalik mendorongnya supaya menjauhi jendela, tapi dipepetnya tubuhku. Kedua tanganku kini bertahan di kaca jendela. Dari belakang bagian bawah kimonoku ditariknya ke atas. Tangannya terasa panas di pahaku, perutku.. Membuat selangkanganku semakin lembab.

"Ough! Mm.. Oohh.."

Kekerasan penisnya melesak didorong habis dari belakang. Sedikit nyeri menyerang antara pahaku. Tangannya memaksa menahan pinggangku diam melekat pada tubuhnya. Padat penisnya mengisi liang vaginaku sekali dorong.

"Hh.. Mel! You're so.."

Wajahku terasa panas, sakit dan nikmat dan takut Shaz berbalik memergoki kami. Walau terangsang, vaginaku terasa akan robek.

"Ooh.. Mmhh.."

Agak kesat, batang kejantanan Duncan bergerak keluar dari liang vaginaku. Tiap milinya seolah menarik diriku keluar. Desahan Duncan seolah menikmati cengkaraman vaginaku. Gesekannya membuatku semakin terangsang. Dengan sebelah tangan kuraih payudaraku satu persatu, kuremas dan kucubit putingku keras-keras.

"Adduh! Mmhh.. Duncan.."

Gerakan penis Duncan semakin keras dan dalam keluar masuk menyenggamaiku. Erangan kami semakin tak tertahan. Kudengar nafasnya di telingaku. Tangannya kini naik ke kedua payudaraku, menggeser tanganku meremasi payudaraku dari balik satin yang masih melekat. Putingku menegang di antara jari-jarinya. Selangkanganku serasa habis digagahinya. Sakit, nikmat dan penisnya semakin cepat dan kasar keluar masuk vaginaku dari belakang.

"Oh! Ooh.. AH! MEL! FUCK! FUCK!"

"Duncan!" Aku terjerit. Penisnya memaksa masuk terlalu dalam. Terasa sentakan tumpul mendesak rahimku. Kejantanannya yang keras mengedut bergerak keluar masuk agak pelan. Perlahan lendir hangat keluar dari selangkanganku. Rasanya nikmat. Spermanya mengaliri paha dalamku perlahan. Duncan menunduk menciumiku dari samping. Nafasnya hangat di leherku.

Kulirik di luar jendela, Shaz sudah tidak kelihatan lagi. Gosh! Apa dia tadi lihat? Duncan nyengir mengikuti pandanganku. Kudorong tubuhnya memberiku ruangan bergerak menghadap tubuhnya.

"Laci kedua dari bawah," bisikku menunjuk ke laci di samping tempat tidurku.

Ragu-ragu Duncan mengikuti tanganku. Dibukanya laci itu dan melongo ditatapnya wajahku. Matanya antara kaget dan excited. Kusahut dengan cengiran dan kedikan mata. Dikeluarkannya 'isi' laciku. Dildo ukuran sedang.

"Come here. Fuck me with that."

Kutarik tangannya, kubantu menyalakan dildo sebanding ukuran penisnya itu bergetar. Kubimbing tangannya mengarahkan penis karet itu masuk pelan-pelan ke selangkanganku. Mula-mula sedalam kepalanya, keluar masuk, bergetar menggoda vaginaku. Ooh.. Nikmatnya membuatku terpejam. Kulepaskan tanganku berpegangan ke pinggiran kusen jendela. Kakiku mengangkang lebih lebar lagi.

"Ooh.. Yahh.. Mm.."
"Deeper?" bisiknya di telingaku. Aku hanya sanggup mengangguk resah.
"Ohh! Oh ya.. Ooh.."

Seluruh dildo itu masuk sambil bergetar keluar masuk liang senggamaku.

"Oh yaa.. Iyaa.. Duncan.."

Erangannya membuat Duncan semakin bersemangat. Tangan kirinya menarik wajahku, memagut bibirku dan menghisap lidahku. Lidah kami saling menjilat lapar. Kusorongkan panggulku menuntut dientot. Penis karet itu dipompanya keluar masuk semakin cepat. Keluar, masuk, keluar berirama dan dalam. Tubuhku bergetar nikmat.

"You want this, huh?"
"Ooh.. Oohh.. OH! Duncan!"

Dildoku didorongnya dalam-dalam, kuat dan menyentak! Oh! Tubuhku menggelinjang nikmat. Keringat membasahi tubuhku setelah orgasme berlalu. Nafasku tersengal-sengal. Kupeluk tubuhnya yang merunduk ke arahku. Dibalasnya pelukanku dengan ciuman mesra bergairah. Dildo masih menancap dan bergetar di vaginaku yang masih ketat mencengkram alat nikmat di antara pelukan kami. Sambil berciuman, dengan sebelah tangan kutarik dildo itu keluar masuk pelan-pelan. Tak sengaja tanganku menyenggol penisnya, segera aku tersadar, gairah Duncan bangkit kembali!

Kudorong pelan dada Duncan. Kukeluarkan dildo dari vaginaku sambil berjalan berbaring terlentang di ranjang. Duncan mengikutiku dengan pandangan mata lapar. Sebelah tangannya menggenggam penisnya yang keras kembali. Dia memang jantan sekali. Kunyalakan kembali dildoku, kulumasi dengan lendir di vaginaku. Sambil berbaring, kugerakkan naik turun bergetar di selangkanganku. Duncan mendekati ranjangku. Aku suka sekali wajah hornynya tanpa senyum.

Sore itu kami berdua menikmati seks terbaik dalam hidup kami. Kami tetap menjalani hidup kami masing-masing sambil sesekali Duncan bermalam di rumahku atau kami menginap keluar kota.


Tamat

No comments:

Post a Comment